Koordinator Nasional Kawan Indonesia, Arif Darmawan, mengkritik keras sikap konten kreator Ferry Irwandi yang menyebut berbagai kritik terhadap dirinya sebagai fitnah dan bentuk intervensi media. Menurut Arif, respons Ferry tersebut menunjukkan kurangnya kedewasaan dalam memahami dinamika demokrasi dan ruang publik.
Arif menilai, Ferry gagal menyadari bahwa setiap individu yang memilih tampil sebagai figur publik—terlebih sebagai influencer dengan jangkauan audiens sangat luas—secara otomatis harus siap menerima evaluasi serta komentar kritis.
“Begitu seseorang masuk ke ruang publik dan menikmati pengaruh besar di media sosial, ia harus siap menghadapi kritik. Tidak bisa hanya ingin dipuji tanpa bersedia dikoreksi. Menstigma kritik sebagai fitnah adalah sikap tidak matang dalam berdemokrasi,” ujar Arif dalam keterangannya, Senin (8/12).
Ia menegaskan bahwa Indonesia menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, termasuk kritik dari akademisi, aktivis, tokoh masyarakat, maupun publik umum. Kritik, kata Arif, merupakan bagian dari mekanisme kontrol sosial agar wacana publik tetap sehat. Menganggap kritik sebagai serangan personal justru bertentangan dengan prinsip demokrasi.
“Ini bukan sekadar soal suka atau tidak suka. Ini berbicara tentang etika di ruang publik. Apalagi ketika konten menyentuh isu sensitif, termasuk dugaan pelecehan terhadap korban bencana di Sumatera. Wajar jika banyak pihak memberikan peringatan. Sayangnya, alih-alih mengevaluasi diri, Ferry justru membalikkan narasi seolah dirinya yang dizalimi,” jelasnya.
Arif juga menyoroti sikap defensif Ferry yang menyerang balik para pengkritiknya. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan minimnya kedewasaan emosional. Sebagai sosok yang berpengaruh, Ferry seharusnya mampu memberikan teladan yang baik dalam merespons perbedaan pendapat.
“Dalam demokrasi, yang paling dewasa adalah mereka yang mampu menerima kritik dengan kepala dingin. Bila semua kritik dianggap fitnah, bagaimana mungkin dialog bisa terbangun? Cara pandang seperti ini justru menunjukkan sikap kekanak-kanakan,” sambung Arif.
Ia turut membantah klaim adanya intervensi media terhadap Ferry. Menurutnya, pemberitaan media hanya mengikuti dinamika opini publik yang muncul akibat konten Ferry yang dianggap tidak sensitif.
“Media bekerja berdasarkan fakta dan reaksi masyarakat. Jika publik bereaksi keras, media tentu memberitakan. Itu tidak bisa disebut intervensi hanya karena hasilnya tidak menguntungkan pihak tertentu,” tegasnya.
Arif mengingatkan Ferry untuk tidak memposisikan diri sebagai korban atas kritik yang sah dan wajar. Menurutnya, menjadi figur publik bukan hanya soal popularitas, tetapi juga kesiapan mental dalam menerima masukan.
“Kalau ingin terus berkarya di ruang publik, maka kedewasaan bersikap adalah kewajiban. Demokrasi tidak membutuhkan figur publik yang mudah tersinggung terhadap kritik,” tutup Arif.












